Cerdas Membaca MediaBahaya “Romantisme” Kejahatan di Ruang Publik
Kemudahan mengakses internet dan kehadiran media digital melahirkan tsunami informasi di ruang-ruang maya. Masyarakat dengan mudah mencari dan mendapatkan informasi dengan beragam bentuk pesan serta kemasan. Teknologi melahirkan konten-konten yang tidak hanya menarik tapi sekaligus mampu mengubah realitas semu terasa sangat nyata.
Terkadang produksi konten sengaja dikemas dengan sedemikian rupa memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mendapatkan perhatian public berupa like, komen, share atau guna menarik sebanyak-banyaknya follower dan subscriber. Esensi informasi atau pesan yang diproduksi seolah menjadi tidak penting atau mungkin sengaja dihilangkan untuk tujuan dan maksud-maksud tertentu.
Media online termasuk didalamnya media sosial tak lagi sekadar alat menyebarluaskan informasi, mengedukasi atau menghibur tapi sekaligus sebagai sarana untuk memproduksi dan memaknai ulang berbagai aspek kehidupan. Di balik unggahan yang tampak sederhana, platform-platform media sosial telah mengubah cara kita melihat, merasakan, dan menafsirkan berbagai peristiwa serta mengonstruksi identitas, budaya, bahkan kenyataan itu sendiri.
Fenomena seperti meme, tantangan viral, dan tren hashtag menggambarkan bagaimana media sosial mengonstruksi pemahaman kolektif terhadap peristiwa tertentu. Memproduksi makna budaya berarti bahwa hal-hal yang viral di media sosial tidak hanya mencerminkan budaya, tetapi juga membentuknya. Sebagai contoh, gerakan sosial yang menyebar melalui hashtag seperti #BlackLivesMatter atau #MeToo menunjukkan bagaimana media sosial membentuk makna baru tentang isu-isu sosial yang kompleks dan menyatukan persepsi publik terhadap isu tersebut.
Namun tidak semua yang viral berarti benar. Sesuatu menjadi viral ada kalanya karena sikap public yang mudah percaya atau ogah memverifikasi konten yang tersebar di media sosial. Ada banyak kasus yang memicu kontroversi karena unggahan konten yang tak jelas asal usulnya.
Jadi teringat nonton Film Titanic (1997) besutan James Cameron yang mengangkat hubungan terlarang antara dua karakter dari latar belakang sosial berbeda, Jack Dawson (diperankan oleh Leonardo DiCaprio) dan Rose DeWitt Bukater (diperankan oleh Kate Winslet). Meskipun hubungan ini sebenarnya adalah perselingkuhan bagi Rose, yang sudah bertunangan dengan Cal Hockley (diperankan oleh Billy Zane), kisah cinta tersebut justru berhasil mengundang simpati luas dari penonton. Hubungan Jack dan Rose tidak hanya dapat diterima, tetapi bahkan dipandang sebagai sesuatu yang menginspirasi.
Film Joker (2019) yang disutradarai oleh Todd Phillips dan dibintangi oleh Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck (alias Joker) bisa juga bisa disebut sebagai fenomena romantisme kejahatan dalam budaya populer, terutama dalam film. Kecenderungan untuk menghadirkan narasi kejahatan yang menggambarkan pelaku kriminal sebagai pahlawan atau sosok yang dipahami dan bahkan dikagumi menjadi satu yang perlu disikapi secara kritis.
Representasi romantis dari tindak kriminal dalam film, yang menggambarkan penjahat sebagai sosok yang “dimengerti,” simpatik, atau bahkan heroic bisa jadi ancaman potensial. Tidak semua khalayak mampu bersikap kritis terhadap pesan di balik film, mereka yang tak paham bisa menganggap tindakan kejahatan yang dilakukan sebagai pembenaran.
Sebagaimana menonton film, sudah seharusnya kita menyisakan ruang di dalam diri kita untuk bisa melihat konten di media sosial lebih kritis. Jangan mudah like, komen dan share karena apa yang tersaji di media belum tentu fakta sesungguhnya. Realitas yang dihadirkan di media adalah pemaknaan yang terselip kecenderungan dan pesan untuk tujuan dan maksud tertentu.