Opini

Kekerasan Terhadap Aparat Hukum: Tanda Krisis Sosial dan Budaya Hukum di Sumatera Utara

Oleh: Prof Dr Ibrahim Gultom
Penangkapan terduga pelaku ketiga pembacokan terhadap seorang jaksa dan aparatur sipil negara di Deli Serdang membuka babak baru dalam analisis sosial atas kekerasan di Sumatera Utara. Lebih dari sekadar kasus kriminal, kejadian ini memperlihatkan tanda-tanda terganggunya tatanan relasi sosial antara masyarakat dan simbol-simbol negara.
Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) memang patut diapresiasi atas respons cepat dan sistematis dalam mengungkap pelaku. Namun, di balik ketegasan penegakan hukum, kita juga perlu menggali akar sosial yang memungkinkan kekerasan ini terjadi terhadap aktor negara yang seharusnya dihormati.
Dalam pandangan antropologi hukum, tindakan kekerasan terhadap aparat penegak hukum seperti jaksa bukan hanya menyangkut pelanggaran hukum, tetapi juga gejala dari keretakan nilai, norma, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi formal. Pelaku yang notabene adalah residivis menunjukkan bahwa ada lingkaran kekerasan yang tidak kunjung terputus.
Ketika sistem hukum gagal merehabilitasi pelaku kekerasan, maka mereka tidak hanya menjadi ancaman bagi individu, tetapi juga bagi institusi negara. Dalam kasus ini, mereka tidak menyerang warga biasa, tetapi justru sosok yang menjadi bagian dari sistem penegakan hukum—sebuah tindakan yang sarat makna simbolik.
Di banyak masyarakat lokal, aparat negara kerap kali dipersepsikan secara ambivalen. Mereka dihormati, tetapi juga ditakuti. Di daerah seperti Deli Serdang atau Sergai, ketimpangan sosial, keterbatasan ekonomi, dan minimnya ruang dialog antara negara dan warga bisa melahirkan rasa keterasingan yang akut.
Dalam kondisi sosial yang demikian, tidak jarang aparat negara menjadi target karena dianggap mewakili sistem yang tidak berpihak. Kekerasan pun menjadi ekspresi keliru atas frustrasi sosial. Ini bukan pembenaran atas tindakan pelaku, melainkan cara membaca bahwa ada luka sosial yang belum sembuh.
Fakta bahwa para pelaku berasal dari wilayah yang sama—dan bahkan saling mengenal—menguatkan dugaan bahwa ini bukan semata tindakan impulsif individual, tetapi mungkin terikat dalam jaringan sosial yang lebih kompleks. Relasi pelaku dan korban dalam dimensi sosialnya perlu dicermati.
Penting juga dicatat bahwa dalam konteks antropologis, kekerasan bukan hanya soal niat jahat, tetapi juga bisa menjadi “bahasa” dari ketimpangan dan krisis makna dalam masyarakat. Ketika individu tidak lagi percaya pada jalan formal untuk menyuarakan ketidakpuasan, maka jalan pintas yang destruktif bisa menjadi pilihan.
Kepolisian memang menjalankan tugas secara struktural, tetapi dalam pendekatan budaya, peran mereka bisa lebih luas. Polisi bisa menjadi agen perubahan sosial jika memahami konteks lokal, mendengarkan suara masyarakat, dan membangun relasi yang berbasis pada kepercayaan.
Kasus ini juga menjadi refleksi atas lemahnya pendekatan humanis dalam sistem keadilan kita. Fokus pada pemenjaraan tanpa rehabilitasi dan reintegrasi sosial hanya akan menghasilkan residivis baru yang lebih brutal dan lebih kecewa pada sistem.
Masyarakat membutuhkan aparat penegak hukum yang hadir bukan hanya dalam bentuk senjata dan kewenangan, tetapi juga sebagai simbol keteladanan, dialog, dan empati. Ketika aparat tidak hanya bertindak represif, tetapi juga reflektif, maka kepercayaan bisa tumbuh kembali.

2 / 8
Budaya hukum tidak akan lahir dari penegakan hukum semata. Ia tumbuh dari relasi sosial yang adil, edukasi hukum sejak dini, dan hadirnya negara dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi narasi elit yang asing bagi masyarakat bawah.
Dalam jangka panjang, kita memerlukan strategi pencegahan berbasis budaya. Program pemulihan sosial, pendekatan restoratif terhadap pelaku kekerasan, serta kampanye hukum yang iinklusif bisa menjadi jalan keluar dari siklus ini.
Kejadian ini harus menjadi alarm bagi semua pihak, bahwa kekerasan terhadap aparat bukan sekadar serangan terhadap individu, tetapi juga terhadap otoritas negara itu sendiri. Dan negara harus menjawabnya tidak hanya dengan tindakan hukum, tetapi juga dengan empati sosial.
Di sisi lain, media juga memegang peranan penting dalam membingkai kasus ini. Alih-alih hanya memfokuskan pada sensasi kriminalitas, media bisa menghadirkan analisis struktural yang membantu publik memahami bahwa kekerasan adalah gejala dari sistem sosial yang perlu dibenahi bersama.
Akhirnya, kita belajar bahwa hukum, keadilan, dan rasa aman bukanlah produk instan, melainkan hasil dari relasi sosial yang sehat, adil, dan bermakna. Dalam tugas itu, antropologi hadir bukan untuk membenarkan, tetapi untuk memahami dan membangun kembali jembatan yang retak.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button