Kerja Sama antara Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Kepolisian Malaysia tekan Peredaran Narkoba di Jalur Laut

Oleh Prof Dr Ibrahim Gultom
Pemberitaan mengenai intensifnya kerja sama antara Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Kepolisian Malaysia dalam menekan peredaran narkoba di jalur laut membuka ruang refleksi antropologis. Isu ini bukan hanya sekadar penegakan hukum, melainkan juga menyangkut dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat pesisir yang hidup dalam bayang-bayang arus globalisasi serta jaringan kriminal transnasional.
Dalam kerangka antropologi maritim, laut tidak semata-mata dipahami sebagai batas teritorial negara. Laut adalah ruang hidup, tempat berlangsungnya aktivitas subsisten, perdagangan, ritual, bahkan migrasi budaya. Masyarakat pesisir Sumatera Utara sejak lama menjadikan perairan Selat Malaka sebagai jalur ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, aktivitas penyelundupan narkoba di kawasan ini tidak bisa dilepaskan dari pemaknaan masyarakat lokal terhadap laut sebagai ruang interaksi terbuka.
Jalur laut Tanjungbalai, Asahan, dan Batubara yang disebut sebagai pintu masuk narkoba dari Malaysia memiliki posisi strategis. Bagi masyarakat lokal, ketiga wilayah itu merupakan simpul budaya maritim yang hidup dari perikanan dan perdagangan lintas perairan. Namun, posisi strategis inilah yang kemudian dieksploitasi oleh jaringan narkotika. Mereka memanfaatkan pengetahuan lokal dan kedekatan masyarakat dengan perairan untuk menjalankan modus penyelundupan.
Modus operandi “transaksi di tengah laut” merupakan adaptasi budaya kriminal yang memanfaatkan logika lokal nelayan. Sejak lama, masyarakat pesisir terbiasa melakukan barter ikan, bahan bakar, atau kebutuhan pokok di tengah laut. Pola ini kemudian dipelintir menjadi mekanisme pertukaran narkoba. Dengan demikian, tindak kriminal ini berakar pada pengetahuan lokal yang diselewengkan demi kepentingan ekonomi gelap.
Dari perspektif antropologi politik, penyelundupan narkoba ini menantang otoritas negara. Batas maritim resmi yang diatur secara hukum seringkali tidak sejalan dengan pengalaman masyarakat lokal yang melihat laut sebagai ruang cair tanpa sekat. Kondisi ini menciptakan ambiguitas: di satu sisi negara berusaha menegakkan hukum, di sisi lain masyarakat pesisir tetap menjalankan praktik lintas batas berdasarkan logika ekonomi tradisional.
Keberhasilan Polda Sumut menggagalkan 248,73 kilogram sabu-sabu patut diapresiasi. Namun, capaian ini sebaiknya dibaca bukan hanya sebagai prestasi aparat, tetapi juga sebagai gambaran betapa masifnya arus narkotika yang berusaha masuk ke wilayah Indonesia. Jika ratusan kilogram bisa digagalkan, dapat kita bayangkan berapa banyak yang lolos. Artinya, isu ini bukan sekadar soal “tangkap-menarik” antara aparat dan pelaku, tetapi menyangkut struktur sosial yang lebih dalam.
Antropologi mengajarkan bahwa setiap praktik kriminal selalu memiliki basis sosial. Pertanyaan pentingnya: mengapa sebagian masyarakat pesisir bersedia menjadi kurir atau kaki tangan jaringan narkoba? Jawabannya seringkali terkait pada ketimpangan ekonomi, terbatasnya akses pendidikan, dan minimnya alternatif pekerjaan. Dalam kondisi ini, tawaran menjadi kurir dengan bayaran besar tampak lebih menjanjikan ketimbang penghasilan nelayan yang rentan.
Dengan demikian, pemberantasan narkoba tidak bisa hanya berfokus pada represifitas hukum. Dibutuhkan pendekatan struktural yang menyentuh akar permasalahan sosial. Masyarakat pesisir perlu diperkuat dengan akses ekonomi yang lebih adil, peluang kerja alternatif, serta penguatan kapasitas pendidikan. Tanpa itu, laut akan tetap menjadi jalur empuk bagi jaringan narkoba untuk merekrut masyarakat lokal sebagai aktor pendukung.
Dalam perspektif antropologi ekonomi, kita melihat bahwa peredaran narkoba menciptakan apa yang disebut sebagai “ekonomi bayangan”. Ekonomi ini berjalan paralel dengan ekonomi formal, menawarkan keuntungan cepat, tetapi merusak tatanan sosial. Ekonomi bayangan ini sangat berbahaya karena memiliki daya tarik tinggi, terutama bagi kelompok miskin yang merasa terpinggirkan dari arus ekonomi resmi.
Bahaya narkoba bukan hanya pada dampak biologis yang merusak tubuh individu, melainkan juga pada rusaknya solidaritas sosial. Generasi muda yang terjerat narkoba akan kehilangan produktivitas, keluarga pecah karena kecanduan, dan komunitas melemah karena kriminalitas meningkat. Dengan kata lain, narkoba adalah ancaman terhadap keberlanjutan kebudayaan lokal itu sendiri.
Kerja sama Polda Sumut dengan Kepolisian Malaysia adalah langkah penting untuk menghadapi jaringan lintas negara. Dari perspektif antropologi hubungan internasional, kolaborasi ini menunjukkan bagaimana dua negara yang berbeda budaya dan sistem hukum harus menyatukan persepsi dalam menghadapi kejahatan transnasional. Narkoba tidak mengenal batas negara, sehingga kerja sama lintas yurisdiksi menjadi keniscayaan.
Namun, kerja sama penegakan hukum sebaiknya tidak berhenti pada tataran investigasi. Kolaborasi harus diperluas pada bidang sosial dan budaya. Misalnya, program pemberdayaan masyarakat pesisir lintas batas Indonesia–Malaysia, atau pertukaran pendidikan bagi generasi muda pesisir. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi melihat laut sebagai ruang gelap yang menguntungkan jaringan narkoba, tetapi sebagai ruang hidup yang sah dan bermartabat.
Dalam kerangka antropologi moral, narkoba dapat dipahami sebagai simbol keretakan nilai. Ia masuk ke dalam masyarakat bukan hanya karena kelemahan hukum, tetapi juga karena adanya degradasi nilai solidaritas, kerja keras, dan kesederhanaan. Di sinilah peran aparat dan pemangku kepentingan menjadi penting, bukan hanya menindak, tetapi juga menanamkan kembali nilai-nilai moral yang menjaga masyarakat tetap sehat secara kultural.
Pemberitaan tentang keberhasilan Polda Sumut juga memiliki dimensi simbolik. Ia memperlihatkan bahwa negara hadir di wilayah yang rentan. Namun, simbol ini harus diikuti konsistensi. Masyarakat pesisir harus merasa bahwa kehadiran aparat bukan hanya ketika ada operasi besar, tetapi juga dalam keseharian: melindungi nelayan, memfasilitasi pasar ikan, atau memberi penyuluhan tentang bahaya narkoba.
Bagi masyarakat Sumatera Utara, berita ini seharusnya menjadi alarm kolektif. Bahwa wilayah mereka tidak hanya kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga rawan menjadi pintu masuk kejahatan global. Kesadaran kolektif perlu dibangun, bahwa narkoba adalah musuh bersama yang dapat menghancurkan masa depan generasi muda Batak, Melayu, maupun komunitas pesisir lainnya.
Dari sisi antropologi perkotaan, dampak narkoba di pesisir tidak hanya berhenti di sana. Kota Medan, sebagai pusat ekonomi Sumatera Utara, akan menerima limpahan dampak sosial. Peredaran narkoba yang masuk dari pesisir cepat menyebar ke kota besar, menciptakan lingkaran kriminal yang lebih luas. Artinya, isu narkoba di perairan adalah juga isu kota, isu nasional, bahkan global.
Karena itu, pemberantasan narkoba harus dilihat sebagai proyek kebudayaan. Menjaga laut bukan hanya soal menjaga perbatasan, tetapi juga menjaga nilai, solidaritas, dan masa depan. Di sinilah pendekatan antropologi memberi perspektif tambahan: bahwa kejahatan narkoba tidak hanya bisa diputus dengan hukum, tetapi juga dengan memperkuat kebudayaan yang sehat.
Program pencegahan harus diarahkan pada penguatan kapasitas keluarga dan komunitas. Orang tua perlu diberdayakan agar mampu mendeteksi gejala kecanduan sejak dini, sekolah perlu dilibatkan untuk menanamkan literasi bahaya narkoba, dan komunitas nelayan perlu didukung agar tidak lagi bergantung pada jalur ekonomi ilegal.
Jika kita gagal membaca narkoba sebagai fenomena budaya, maka pemberantasan akan selalu bersifat tambal sulam. Aparat sibuk mengejar kurir, sementara jaringan terus beregenerasi dengan merekrut orang-orang baru dari masyarakat yang rentan. Inilah mengapa perspektif antropologi sangat penting: ia mengingatkan kita pada dimensi sosial yang sering terabaikan dalam diskursus hukum.
Pada akhirnya, kerja sama Polda Sumut dengan Kepolisian Malaysia harus dilihat sebagai titik awal dari sebuah proyek besar: membangun masyarakat pesisir yang tangguh, bermoral, dan berdaya. Laut yang selama ini dimanfaatkan sebagai jalur kriminal harus direbut kembali sebagai ruang hidup yang mendukung kesejahteraan. Dengan cara itulah, pemberantasan narkoba tidak hanya menjadi tugas aparat, tetapi juga menjadi gerakan kebudayaan yang melibatkan seluruh masyarakat.