Peran Kepolisian dalam Meredam Konflik Politik

Menurut Prof. Dr. Ibrahim Gultom, pakar antropologi budaya dari Universitas Negeri Medan, insiden pelemparan terhadap kedua calon gubernur Sumatera Utara dalam tahapan Pilkada 2024 mencerminkan dinamika sosial-politik yang kompleks. Peristiwa ini menunjukkan pentingnya peran kepolisian tidak hanya sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai penjaga harmoni sosial.
“Insiden ini mencerminkan ketegangan politik di level akar rumput yang dapat memengaruhi stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Kepolisian harus memposisikan diri sebagai mediator yang netral dan berupaya meredam emosi kolektif,” ungkap Prof. Ibrahim.
Ia menjelaskan bahwa dari perspektif antropologi, konflik politik sering kali berkaitan erat dengan dinamika budaya lokal. Di Sumatera Utara, masyarakat memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap figur pemimpin, sehingga tindakan provokatif kecil dapat memicu eskalasi konflik.
“Kepolisian perlu memahami sensitivitas ini dan mengedepankan pendekatan yang sesuai dengan konteks budaya setempat. Pendekatan ini sangat penting untuk mencegah ketegangan lebih lanjut,” tambahnya.
Menurut Prof. Ibrahim, masyarakat cenderung bereaksi emosional ketika merasa salah satu pihak diperlakukan tidak adil. Dalam konteks ini, kehadiran polisi yang netral dan tegas menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Ia juga menyoroti pentingnya edukasi masyarakat tentang bahaya provokasi dalam kontestasi politik. “Polisi bisa bekerja sama dengan tokoh adat, agama, dan masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan damai yang relevan dengan budaya lokal. Pendekatan ini lebih efektif karena mengakar dalam nilai-nilai yang sudah dikenal masyarakat,” jelasnya.
Prof. Ibrahim mengapresiasi langkah Polda Sumut yang mengundang kedua pasangan calon untuk membahas persiapan debat ketiga. “Ini menunjukkan bahwa polisi tidak hanya fokus pada pengamanan, tetapi juga berupaya menjadi fasilitator dialog yang produktif,” katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa tindakan preventif harus diimbangi dengan pendekatan humanis. “Pendekatan humanis sangat penting dalam situasi seperti ini. Polisi harus hadir sebagai pelindung masyarakat, bukan hanya sebagai penegak hukum,” ujarnya.
Dari sudut pandang antropologi, simbol-simbol seperti kehadiran polisi yang netral dan profesional sangat berpengaruh dalam menciptakan persepsi positif di masyarakat. “Simbol-simbol ini penting untuk menunjukkan bahwa negara hadir melindungi semua pihak secara adil,” tambah Prof. Ibrahim.
Ia juga menyarankan agar pengawalan terhadap pasangan calon tidak hanya fokus pada keamanan fisik tetapi juga simbolik. “Ketika masyarakat melihat bahwa pengawalan dilakukan secara setara dan profesional, hal ini dapat meredakan ketegangan politik,” jelasnya.
Prof. Ibrahim juga menekankan pentingnya membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat untuk mencegah potensi konflik. “Kepolisian harus lebih proaktif dalam mendekati masyarakat, terutama di daerah yang rawan konflik,” katanya.
Menurutnya, insiden ini juga mencerminkan bagaimana kontestasi politik sering kali memanfaatkan emosi publik. “Polisi harus mampu membedakan antara konflik politik yang terjadi secara alami dan provokasi yang disengaja untuk menciptakan ketegangan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti perlunya pelatihan khusus bagi aparat kepolisian untuk menghadapi situasi politik yang dinamis. “Pelatihan ini penting agar polisi dapat memahami dinamika sosial-politik dan mengambil langkah-langkah yang tepat,” ujar Prof. Ibrahim.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa pendekatan kepolisian harus mengedepankan prinsip keadilan restoratif. “Prinsip ini membantu mengatasi akar masalah konflik dan mencegahnya terulang di masa depan,” jelasnya.
Prof. Ibrahim menambahkan bahwa kolaborasi dengan lembaga lain juga penting untuk menjaga situasi tetap kondusif. “Kepolisian tidak bisa bekerja sendiri. Mereka perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga adat, dan masyarakat sipil,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam proses penyelidikan insiden seperti ini. “Transparansi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap polisi sebagai institusi penegak hukum,” tegasnya.
Sebagai penutup, Prof. Ibrahim menyatakan bahwa peran polisi dalam situasi politik harus melampaui tugas-tugas teknis. “Mereka harus menjadi simbol keadilan, penjaga harmoni sosial, dan pelindung demokrasi,” katanya.
Menurutnya, jika polisi mampu menjaga netralitas dan profesionalisme, masyarakat akan merasa lebih aman dan percaya terhadap proses demokrasi. “Keberhasilan ini tidak hanya menciptakan Pilkada yang damai tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap negara,” pungkasnya.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa polisi memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan Pilkada berjalan lancar, aman, dan bermartabat. “Masa depan demokrasi kita sangat bergantung pada bagaimana institusi negara, termasuk kepolisian, menjalankan perannya dalam situasi-situasi krusial seperti ini,” tutup Prof. Ibrahim.